HARAPAN DAN KEKHAWATIRAN
Assalamu ‘alaikum warohmatullohi wabarokaatuh.
BERJIWA
PENDIDIK,
SOSOK GURU ADALAH PEMBANGUN NEGERI
Oleh Muh Tarudin
SD
SWASTA TIARA KEPENUHAN HULU
ABSTRAK.
HARAPAN DAN KEKHAWATIRAN
Assalamu ‘alaikum warohmatullohi
wabarokaatuh.
Salam
sejahtera untuk kita semua.
Anak-anak kita yang masih kecil sekarang ini, kelak
di masa mendatang akan menjadi pemimpin-pemimpin. Dari Sabang sampai Merauke.
Apabila mereka dibiasakan dan membia sakan diri dengan akhlak yang baik,
derajat mereka akan tinggi. Apabila mereka berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk
dirinya, orang
tua, masyarakat dan negara, ma ka anak-anak itu akan menjadi dasar yang kokoh
bagi kebangkitan bangsa. Ini adalah perkara yang tidak bisa dipungkiri oleh
siapapun.
Sebaliknya, apabila anak-anak itu telah terbiasa
dengan akhlak yang tidak terpuji dan enggan menuntut ilmu pengetahuan yang
menjadi sebab utama bangsa-bangsa bisa hidup, ma ka mereka, anak-anak itu di
masa yang akan datang sangat berpotensi menjadi bencana bagi bangsa dan menjadi
pengacau negara yang mereka diami.
Nah, lalu siapakah yang bisa mengajari mereka ilmu
pengetahuan ? Pengajar. Siapakah yang akan bisa mendidik akhlak baik bagi
mereka ? Pendidik. Terlepas dari apakah sebagai pengajar mereka memang ahli
dalam ilmu pengetahuannya atau tidak, dan apakah sebagai pendidik mereka memang
sudah terpenuhi kemuliaan akhlaknya atau belum, tetapi singkat jelasnya kata pengajar dan kata pendidik itu,
menunjuk sinonim kata pada “guru”.
Artikel ini tak mungkin menjawab tantangan di atas.
Penulis tidak lebih dari seorang guru honor yayasan golongan tuna sarjana.. Dengan
tanpa mengurangi rasa hormat kepada semuanya, barangkali juga akan berbeda
lensa pandang dengan peserta lain. Dengan kata kunci “ BERJIWA PENDIDIK, SOSOK
GURU ADALAH PEMBANGUN NEGERI ” pembaca akan diajak berkomunikasi hati.
Namun, apabila di artikel nanti dalam susunan bahasa
kurang tertata baik, topik kurang menarik,maka penulis meminta maaf dan mengharap
maklum.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Wassalamu
‘alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
I.
NIAT SEORANG GURU
Gerak energi hati dalam diri manusia yang mendasari
awal setiap aktifitasnya, mungkin lebih mudah dipahami sebagai pengertian istilah
dari niat. Secara bahasa niat sama dengan sengaja.
Profesi mulia menjadi guru, sudah barang tentu tidak
bisa lepas dari niat. Pasti ada, meskipun karena faktor kesibukan, bisa saja
sekarang banyak yang sudah lupa. Justru aneh bila tidak ada niat kok melakukan
profesi semulia guru.
Adapun berbeda aneka bahasa niat menjadi guru adalah
keniscayaan. Dan ini sah, alami karena memang tidak ada ikatan harus satu.
Bebas. Namun apakah dalam kebebasan itu tidak ada pertimbangan akal sehat
hingga tidak ada batasan kepatutan ? Tentu ada dan harus.
Bukti fisik di lapangan, sekarang ini dunia
pendidikan mengalami berbagai perubahan tampilan, pembaharuan strategi,
revolusi inovasi, modernisasi teknologi dan lain sebagainya. Berbagai faktor
berpengaruh. Sejak dari tuntutan perkembangan dan kemajuan zaman, usulan para
pejabat dinas pendidikan wilayah dan daerah, hingga ketetapan dan kebijakan
direktorat departemen pusat.
Nah, ingat kita pada wacana penghapusan program
Ujian Nasional ?
Secara logika, satu sudut pandang sebagai daerah,
dengan berbagai perbedaan kondisi sumber daya alam, sumber daya manusia dengan
ragam budayanya, tingkat kemajuan pola pikir dan lengkap kurangnya sarana prasarana sekolah
dari kota sampai pelosok, tentu akan tidak sama kemampuan mengerjakan soal
ujian yang dibuat dengan standar ukuran kota metropolitan. Jika demikian terus, tentu
kemajuan di kota semakin laju, sebaliknya ketertinggalan daerah-daerah
terpencil semakin jauh. Maka kemudian dibuatlah langkah awal menuju kesamaan, dengan
cara setiap daerah mendapat hak otonomi pembuatan soal.
Selesaikah masalah ? Belum. Muncul problem baru.
Belum semua daerah siap dan sanggup mengkondisikan
pelaksanaan otoritas tersebut, menuju hasil akhir yang sama mutu kwalitasnya.
Jadi, manakah yang lebih baik antara tetap ujian
nasional atau dihapus? Jawabnya tergantung pada niat dan minat masing-masing dalam pendidikan.
Baru
saja tadi, itu hanya satu dari sekian potret pada album kamera pendidikan kita.
Bukan itu yang ingin penulis tampilkan. Tapi ruh atau jiwa pendidik. Karena
guru juga manusia, maka manusiawi juga bila mengalami bermacam kondisi jiwa
seperti orang lain. Di antaranya bersifat benar dan dusta.
II.
BENAR DAN DUSTA
Pengertian benar dan dusta yang penulis maksud di
sini tidak seperti yang sudah sering kita dapatkan sehari-hari, seperti bicara
mengada-ada tapi tidak ada kenyataannya, atau jajan tiga mengaku satu, atau
lagi bila ditelepon kawan menjawab, “Halo, posisi di cafe Pekan Baru...!” Padahal
di kedai kopi kampung. Mengaku orang yang konsisten dengan waktu, padahal
paling sering telat dan banyak alasan. Kalau yang begitu, anak kecil pun sudah
tahu. Ukuran orang semulia profesi guru, justru harus malu berperilaku selugas
itu.
Benar di sini dalam arti sungguh-sungguh atau
berbuat sepenuh hati. Dusta dalam arti sekedar pura-pura atau asal-asalan
berbuat.
Ada hal sederhana yang semestinya diluruskan. Bahwa
pemahaman sekedar berikhtiar kemudian bertawakkal kepada Yang Maha Menentukan, sering
pada posisi keliru.
‘Sekedar’ sering dikonotasikan asal berbuat dan
tidak serius. Menghindari capek dan kesulitan. Ini ‘sekedar’nya pemalas, lemah
syahwat berbuat. Pasangannya adalah kemandulan rahim keberhasilan.
Lalu, apa jadi ?
Sekedar berusaha adalah tetap berbuat sepenuh hati
segenap jiwa raga dengan konsep ilmu dalam beramal, menyusun rencana dan
strategi dengan teliti, mempersiapkan segala anggaran dan keperluan selama
proses bekerja, penuh semangat dan harapan, perhitungan dan hati-hati,
fluktuasi data dievaluasi sampai pada titik kestabilan. Barulah hasil maksimal
ditawakkalkan. Karena sehebat apapun manusia berusaha dan bekerja, harus dan
harus tetap sadar derajatnya adalah hamba. Hanya pada maqom berusaha. Kalau
hasil adalah pada wilayah kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kita bersyukur
bila mempunyai guru-guru yang ideal benar berjiwa pendidik, bukan hanya
berfikiran pengajar. Bukan hanya terampil mahir di strategi atau kelengkapan
perangkat pembelajaran saja, tapi jiwa guru
menancap sangat dalam.
الطريقة
اهم من المآدة , والمدرس أهم من
الطريقة , وروح المرس أهم من المدرس نفسه
Metode
lebih penting daripada materi, dan guru lebih penting daripada metode, dan
ruh/jiwa pendidik lebih penting dari guru itu sendiri.(KH Hasan Abdullah Sahal
Gontor)
Menanamkan jiwa
guru membutuhkan media pendekatan hati. Artinya ada program kerohanian yang
teratur, meskipun tidak banyak jadwal harinya. Dan barangkali bisa diprogramkan
oleh para pengurus PGRI.
III.
PENUTUP.
Sebelum ada program wajib pendalaman jiwa pendidik
secara nyata berlakukan pemerintah, alangkah indahnya bila lebih dahulu berhias
dengan akhlak benar berjiwa pendidik dengan mandiri. Niat kita adalah menjalani
suratan takdir menjadi guru. Harapan yang terdalam adalah membangun manusia-manusia
baru yaitu usia anak-anak dan remaja menjadi para khalifah di bumi kelak.
Cita-cita luhur itu akan jauh panggang dari api jika kita guru yang dusta. Mencetak
murid yang pandai dan berakhlak harus dimulai dari pencetaknya juga mahir dan
berakhlak mulia.
Tempat
kekayaan di perdagangan dan bisnis.
Ingin
ketenaran jadilah artis.
Mau ditakuti
jadilah hantu.
Ambisi
kekuasaan berpangkatlah jabatan.
Menjadi guru
adalah pengabdian.
Guru itu ing ngarso sung tulodho , di depan
bisa memberi contoh yang baik, ing madya mangun karsa, di tengah
masyarakat bisa membangun motivasi, tut wuri handayani, di belakang para
pemimpin dan tetua senantiasa patuh sehingga menjadi kekuatan.
Bangkit Guruku Maju Negeriku.
Indonesia Tumbuh Indonesia Tangguh.
Dirgahayu Hari Guru Nasional ke-76.
.
PT.
EMA, 20 November 2021
Hormat
Penulis : Muh
Tarudin
Diketahui dan disahkan
oleh :
Kepala SD Swasta Tiara,
Dto,
Asep Nurzaman, S.Pd
Rujukan referensi.
1. Kitab
nasehat “ ‘IZHZHOTUN NASYI’IN “ karya Mushtofa Al-Gholayaini
2. Interpretasi
Makna ‘At-Thariqah Ahammu Minal Maddah”-Gontor. Sumber
G
https//www.gontor.ac.id